PTC Terpercaya

,

Minggu, 07 Juli 2013

Memilih Seorang Pemimpin Menurut Islam


Sebagai warga negara sudah tentu kita mempunyai keterikatan dan keterkaitan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara khususnya dalam “memilih pemimpin”,yang selalu kita sebut Pesta Demokrasi, yang selalu diadakan dalam 5 tahun sekali.Dan hampir sering kita jumpai banyaknya orang yang merasa layak menjadi seorang pemimpin dan sedikit bahkan nyaris tidak pernah ada orang yang memiliki sifat pemimpin yang benar - benar amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang pemimpin.Sebagai seorang mukmin ada baiknya kita lebih peka dan hati-hati dalam menjalankan amanah baik dalam memilih atau dipilih sebagai seorang pemimpin.


Mari kita hayati dan renungkan sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Al Hakim, Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa yang memilih seseorang sebagai pemimpin atas dasar ta’ashub (fanatisme/taqlid) buta semata didasarkan hanya pada pertimbangan emosional primordial, bukan atas dasar rasionalitas dan penilaian yang jernih, padahal di tengah mereka ada orang yang lebih layak dan pantas dipilih dan diridhai Allah, maka orang itu telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya dan kaum muslimin”. Akankah kita termasuk di dalamnya? Na’udzubillah min dzalik!

Sebenarnya telah banyak sekali ayat-ayat yang mengingatkan kita tentang bagaimana cara kita mesti memilah & memilih pemimpin, di antaranya pada ayat 28 surah Ali Imran, Allah SWT berfirman: “Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kalian takuti dari mereka. Dan, Allah memperingatkan kalian akan diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah tempat kembali”. Juga dalam firman-Nya: “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Ketahuilah bahwa semua kekuatan itu milik Allah” (QS. An Nisaa,4:138-139).

Demikian pula dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu), mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kalian yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka kalian akan melihat orang-orang yang hatinya berpenyakit segera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata,”Kami takut akan mendapat bencana”. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul)-Nya, atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya, sehingga mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka” (QS. Al Maa’idah,5:51-52).

Betapa sudah sangatlah jelas dan tegas peringatan-peringatan Allah tentang masalah mengangkat seorang menjadi pemimpin, “Jangankan orang kafir yang kita angkat sebagai pemimpin, bahkan orang muslim sekalipun hanya mereka yang tunduk, patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta siap melaksanakan syariat Allah”. Maka dari itu sudah tidak dimungkinkan lagi dalam Islam kita mengangkat seorang pemimpin yang kafir dengan mengenyampingkan orang mu’min, jika dia yakin bahwa yang kafir itulah yang terbaik, maka dari sisi akidah dia layak dipertanyakan keislamannya.

Bila kita membuka lembaran sejarah islam, maka kita akan menemukan salah satu teladan yang baik dari seorang sosok anak manusia yang baru diangkat menjadi Khalifah, di mana ketika itu Abu Bakar Ash Shidiq Ra telah diangkat menjadi khalifah. Layak timbul pertanyaan dalam diri kita dengan diangkatnya beliau menjadi khalifah, apakah kedudukannya sebagai khalifah mengubah kepribadian dan gaya hidupnya? Apakah dalam kegemilangan dan kepadatan keberhasilannya, lantas ia melupakan kerendahan hati dan sifat-sifat utama lainnya? Apakah kehidupannya sebagai khalifah berada di atas manusia pada umumnya, ataukah tetap di tengah-tengah manusia?

Jawaban dari semua pertanyaan di atas, kita akan dapatkan dengan menyimak pidato detik-detik pertama dari kekhalifannya saat ia tampil pertama menghadap khalayak ramai untuk menyampaikan kepada mereka ikrar serta janjinya, “Hai Kaum Muslimin, saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian, tetapi itu tidak berarti bahwa saya adalah yang terbaik di antara kalian. Maka jika saya benar, bantu dan dukunglah saya, dan jika saya salah, betulkan dan peringatkan saya! Ingatlah, orang yang lemah di antara kalian menjadi kuat di sisiku hingga saya serahkan haknya kepadanya. Dan, orang yang kuat di antara kalian menjadi lemah di sisiku hingga saya ambil yang bukan haknya daripadanya. Taatilah saya selama saya mentaati Allah dan Rasul-Nya. Dan jika saya tidak taat, maka tidak ada keharusan bagi kalian untuk mentaatiku”. Dengan ikrarnya ini, Abu Bakar Ra telah meletakkan rasa tanggung jawabnya dalam kerangka pengakuan dan ketulusan.

Tanggung jawab seorang pemimpin yang dipercaya sekaligus mengungkapkan intisari setiap pemerintahan yang baik. Dengan pernyataan ikrar, “Saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian, tetapi saya bukanlah yang terbaik di antara kalian”, maknanya, ia hendak mengikis persangkaan manusia yang menyebabkan mereka menaruh pihak penguasa di tempat yang mereka tinggikan dari derajat dan kedudukan yang sebenarnya. Ia bermaksud hendak menanamkan dalam hati mereka bahwa kekuasaan itu bukanlah suatu kelebihan atau keistimewaan, melainkan amanah yang wajib ditunaikan dengan sebaik-baiknya sekaligus pelayanan umum yang dalam sebagian besar di antaranya ditemui berbagai macam kesulitan dan tanggung jawab. Ia memberi pelajaran berharga bagi kita bahwa kepemimpinan itu bukanlah untuk suatu keagungan, melainkan tugas dan kewajiban, memberikan bimbingan dan bukan ketakaburan. Seorang pemimpin itu hanyalah suatu individu yang merupakan bagian dari ummat dan bukanlah ummat suatu bagian dari individu.

Demikian pula, dapat kita simak makna ikrarnya yang dinyatakannya,“Taatilah saya selama saya mentaati Allah dan Rasul-Nya. Dan jika saya tidak taat, maka tidak ada keharusan bagi kalian untuk taat kepadaku”. Lewat pernyataannya ini beliau ingin menegaskan, bahwa ummat wajib taat kepada pemerintahan dan kepemimpinan beliau, sepanjang beliau taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, jika nanti di dalam kepemimpinannya beliau menyimpang dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajiban bagi ummat untuk taat. Disadari atau tidak, permasalahan “memilah-memilih” dalam menjalani kehidupan ini bukanlah urusan kecil atau masalah yang sepele, terlebih lagi dalam kaitannya kita harus memilih seorang pemimpin. Bagi kita yang berkedudukan sebagai pemilih tentu punya tanggung jawab yang sangat besar. Bukan hanya tanggung - jawab moral, tapi lebih dari itu kita punya tanggung jawab di hadapan Allah. Di hadapan-Nya kelak, kita akan dituntut pertanggungjawabannya tentang apa yang telah kita lakukan, tindakan dan sikap apa yang telah kita perbuat, “Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya” (Al Israa’, 17 : 36).

Kita harus betul-betul siap untuk memilih seseorang yang kita yakini, paling tidak, yang siap melaksanakan amanah orang banyak,dan taat dalam beribadah kepada Allah SWT. Kesalahan kita dalam memilih akan berakibat fatal bagi kehidupan ummat masa kini dan masa akan datang dan kita pun harus ikut mempertanggungjawabkan itu di akhirat kelak. “Salah” kita dalam memilih seorang pemimpin, dengan memilih orang yang zalim misalnya, karena tidak terbesit tekadnya sedikit pun untuk menegakkan syariat Islam, maka kita harus ikut mempertanggungjawabkan pilihan kita itu di hadapan Allah. Karena bukankah dia bisa menjadi seorang pemimpin adalah juga karena kita yang memilihnya. Bahkan dalam kesalahan memilih seorang pemimpin,dampaknya akan langsung kita rasakan.Oleh karena itu jika kita memilih seorang pemimpin kita harus bisa memilah dan mengenal dulu siapa sosok orang yang akan kita pilih, bukan karena materi, bukan karena garis keturunan, dan juga bukan karena janji, tetapi kita lihat akhlaknya, ibadahnya,dan kepribadiannya dalam masyrakat sehari-hari. Mudah - mudahan tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Amin Ya Robbal alamin.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar